Sabtu, 09 Mei 2020

Gangguan Sistem Reproduksi Endometriasis dan BPH


GANGGUAN SISTEM REPRODUKSI ENDOMETRIASIS DAN BPH


MAKALAH PATOFISIOLOGI
Untuk memenuhi Tugas Kelompok Patofisiologi
Yang dibina oleh Ibu Ns. Ira Rahmawati, S.Kep.,MNSc (EM)



Disusun Oleh :
1.      Icha Maulidina                  (P17220194046)
2.      Indah Rahmawati              (P17220194055)
3.      Indriani                             (P17220194058)
4.      Nur Cholif Wahyu N        (P17220194080)




 


  
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
D-III KEPERAWATAN LAWANG
MEI 2020


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Benigna Prostate Hiperplasia (BPH)
Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) menurut beberapa ahli adalah :
Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002).
BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2006). BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.

2.2 Tahapan Perkembangan Penyakit BPH
Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De jong (2005) secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
·         Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml.
·         Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50-100 ml.
·         Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
·         Derajat 4 :  Apabila sudah terjadi retensi urine total.

2.3 Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya BPH, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekiatr 100% (Purnomo, 2011)
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo (2011) meliputi, Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem.
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad merupakan factor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa –reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
2. Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron sedangkan kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone relative meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.
3. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.
5. Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

2.4 Patofisiologi
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih atau disuria ( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).


2.5 Manifestasi Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a.    Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran miksi lemah, intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi)
b.    Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
3. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual yang besar.

2.6 Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1.    Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2.    Infeksi saluran kemih
3.    Involusi kontraksi kandung kemih
4.    Refluk kandung kemih
5.    Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6.    Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7.    Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
8.    Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi pasien harus mengedan.

2.7 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi :
1. Laboratorium
a)      Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk menegtahui kuman penyebab infeksi dan sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba.
b)      Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang menegenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsin ginjal dan status metabolic.
c)      Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA <4ng/ml tidak perlu dilakukan biopsy. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah prostate specific antigen density (PSAD) lebih besar sama dengan 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsy prostat, demikian pula bila nila PSA > 10 ng/ml.  
2. Radiologis/pencitraan
Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan radiologis bertujuan untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residu urin serta untuk mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak berhubungan dengan BPH.
a)      Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh dengan urin sebagai tand adanya retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda  metastasis  dari  keganasan  prostat,  serta  osteoporosis akibat kegagalan ginjal.
b)      Pemeriksaan Pielografi intravena (IVP), untuk memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter dibagian distal yang berbentuk seperti mata kail (hooked fish)/gambaran ureter berbelok-belok di vesika, penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli-buli.
c)      Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat, memeriksa masa ginjal, menentukan jumlah residual urine, menentukan volum buli-buli, mengukur sisa urin dan batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli, dan mencari kelainan yang mungkin ada dalam buli-buli.

2.8 Penatalaksanaan
1) Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan control keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:
a.       Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi.
b.      Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.


2) Terapi medikamentosa
Menurut  Baradero  dkk  (2007)  tujuan  dari  obat-obat  yang diberikan pada penderita BPH adalah :
a.     Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk mengurangi tekanan pada uretra
b.    Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik)
c.     Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/ dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo (2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase, fitofarmaka.
1. Penghambat adrenergenik alfa
Obat-obat      yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin.
Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan, obat-obat ini mempunyai efek pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
2. Pengahambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru menunjukkan perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
3. Fitofarmaka/fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus dll. Afeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1-2 bulan dapat memperkecil volum prostat.
3) Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer dan Bare (2002) intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi : pembedahan terbuka dan pembedahan endourologi.
a.  Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang biasa digunakan adalah :
1) Prostatektomi suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangat dari atas. Teknik demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak dibanding dengan metode lain, kerugian lain yang dapat terjadi adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor.
2) Prostatektomi perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat berguan untuk biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dnegan rectum. Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
3) Prostatektomi retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak pembedahan lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.
b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:
1) Transurethral Prostatic Resection (TURP)
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial yang langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway. Irigasi kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk mencegah pembekuan darah. Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu tinggal dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak pada kandung kemih, spasme  kandung  kemih  yang  terus  menerus, adanya perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero dkk, 2007).
2) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan TUIP adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil (30 gram atau kurang). Teknik yang dilakukan adalah dengan memasukan instrument kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi uretral. Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami ejakulasi retrograde (0-37%) (Smeltzer dan Bare, 2002).
3) Terapi invasive minimal
Menurut Purnomo (2011) terapai invasive minimal dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive minimal diantaranya Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), Transuretral Needle Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA), Pemasangan stent uretra atau prostatcatt.
a) Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis pengobatan ini hanya dapat dilakukan di beberapa rumah sakit besar. Dilakukan dengan cara pemanasan prostat menggunakan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di uretra pars prostatika, yang diharapkan jaringan prostat menjadi lembek. Alat yang dipakai antara lain prostat.
b) Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat dengan menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini efektif pada pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun efek ini hanya sementar, sehingga cara ini sekarang jarang digunakan.
c) Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini memakai energy dari frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100 derajat selsius, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Pasien yang menjalani TUNA sering kali mengeluh hematuri, disuria, dan kadang-kadang terjadi retensi urine (Purnomo, 2011).
d) Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat, selain itu supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa melewati lumen uretra prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup tinggi.


KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita BPH merujuk pada teori menurut Smeltzer dan Bare (2002) , Tucker dan Cannobio (2008) ada berbagai macam, meliputi :
a. Demografi
Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras kulit hitam memiliki resiko lebih besar dibanding dengan ras kulit putih. Status social ekonomi memili peranan penting dalam terbentuknya fasilitas kesehatan yang baik. Pekerjaan memiliki pengaruh terserang penyakit ini, orang yang pekerjaanya mengangkat barang-barang berat memiliki resiko lebih tinggi..
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, hesistensi ( sulit memulai miksi), intermiten (kencing terputus-putus), dan waktu miksi memanjang dan akhirnya menjadi retensi urine.
c. Riwayat penyakit dahulu
Kaji apakah memilki riwayat infeksi saluran kemih (ISK), adakah riwayat mengalami kanker prostat. Apakah pasien pernah menjalani pembedahan prostat / hernia sebelumnya.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit BPH.
e. Pola kesehatan fungsional
1)   Eliminasi
2)   Pola eliminasi kaji tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu, menetes, jumlah pasien harus bangun pada malam hari untuk berkemih (nokturia), kekuatan system perkemihan. Tanyakan pada pasien apakah mengedan untuk mulai atau mempertahankan aliran kemih. Pasien ditanya tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari prostrusi prostat kedalam rectum.
3)   Pola nutrisi dan metabolisme
4)   Kaji frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau keadaan yang mengganggu nutrisi seperti anoreksia, mual, muntah, penurunan BB.
5)   Pola tidur dan istirahat
6)   Kaji lama tidur pasien, adanya waktu tidur yang berkurang karena frekuensi miksi yang sering pada malam hari ( nokturia ).
7)   Nyeri/kenyamanan
8)   Nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat, nyeri punggung bawah
9)   Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
10)    Pasien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan, penggunaan alkhohol.
11)    Pola aktifitas
12)    Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan waktu senggang, kebiasaan berolah raga. Pekerjaan mengangkat beban berat. Apakah ada perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana pasien masih mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari sendiri.
13)    Seksualitas
14)    Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampua seksual akibat adanya penurunan kekuatan ejakulasi dikarenakan oleh pembesaran dan nyeri tekan pada prostat.
15)    Pola persepsi dan konsep diri
16)    Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau dirasakan pasien sebelum pembedahan dan sesudah pembedahan pasien biasa cemas karena kurangnya pengetahuan  terhadap perawatan luka operasi.

3.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007) dan Tucker dan Cannobio (2008) adalah :
1. Pre Operasi
a.    Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran prostat dan obstruksi uretra.
b.    Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
c.    Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status kesehatan, kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi prosedur bedah.
d.   Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
2. Post Operasi
a.    Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada pembedahan
b.    Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah, edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
c.    Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler ( tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah.
d.   Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih.
e.    Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten akibat dari pembedahan.

3.3 Intervensi
No
Diagnosa Keperawatan
Tujuan & Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
1.
Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24jam pasien tidak terjadi retensi urine
Kriteria hasil:
Pasien menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari  50  ml, dengan  tidak  adanya  tetesan  atau kelebihan cairan.
1.      Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam atau bila tiba-tiba dirasakan
2.      Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan kekuatan.
3.      Awasi dan catat waktu tiap berkemih dan jumlah tiap berkemih, perhatikan penurunan haluaran urin dan perubahan berat jenis.
4.      Lakukan perkusi/palpasi suprapubik
5.      Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari
6.      Kaji tanda-tanda vital, timbang BB tiap hari, pertahankan pemasukan dan pengeluaran yang akurat
7.      Lakukan rendam duduk sesuai indikasi
8.      Kolaborasi pemberian obat
1)      Meminimalkan retensi urin distensi berlebihan pada kandung kemih.
2)      Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi
3)      Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas, yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal.
4)      Distensi kandung kemih dapat dirasakan diarea suprapubik
5)      Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
6)      Kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penuruna eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut kepenuruan ginjal total
7)      Meningkatkan relaksasi otot, penuruan edema, dan dapat meningkatkan upaya berkemih.
8)      Mempercepat proses penyembuhan.
2.
Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran prostat dan obstruksi uretra.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24jam nyeri hilang, terkontrol
Kriteria hasil   :
pasien  melaporkan  nyeri  hilang  dan  terkontrol pasien  tampak  rileks,  mampu  untuk  tidur  dan istirahat dengan tepat.
1.    Kaji tipe nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10) lamanya.
2.    Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
3.    Berikan tindakan kenyamanan, distraksi selama nyeri akut seperti, pijatan punggung : membantu pasien melakukan posisi yang nyaman: mendorong penggunaan relaksasi/latihan nafas dalam: aktivitas terapeutik
4.    Dorong menggunakan rendam duduk, gunakan sabun hangat untuk perineum
5.    Kolaborasi pemberian obat pereda nyeri  (analgetik)
1)      Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan/keefektifan intervensi
2)      Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut. Namun ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih normal dan menghilangkan nyeri kolik
3)      Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping
4)      Meningkatkan relaksasi otot
5)      Menurunkan adanya nyeri, dan kaji 30 menit kemudian untuk mengetahui keefektivitasnya.
3.
Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler ( tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah.
Tujuan :
Tidak terjadi perdarahan
Kriteria Hasil :
1)      Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan
2)      Tanda – tanda vital dalam batas normal .
3)      Urine lancar lewat kateter
1.      Jelaskan pada pasien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan tanda – tanda perdarahan .
2.      Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter .
3.      Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk memudahkan defekasi .
4.      Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu .
5.      Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi dilepas .
6.      Observasi   tanda  –  tanda  vital  tiap  4  jam,  masukan  dan haluaran dan warna urine.
1)      Menurunkan kecemasan pasien dan mengetahui tanda – tanda perdarahan.
2)      Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih.
3)      Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan mengendapkan perdarahan
4)      Dapat menimbulkan perdarahan prostat.
5)      Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah pembedahan
6)      Deteksi  awal  terhadap  komplikasi,  dengan intervensi  yang  tepat  mencegah  kerusakan  jaringan  yang permanen.
4.
Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24jam pasien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi
Kriteria hasil :
1.  Pasien tidak mengalami infeksi.
2.  Tanda – tanda vital  dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda syok.
1.      Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.
2.      Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat menurunkan potensial infeksi.
3.      Pertahankan posisi urine bag dibawah
4.      Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
5.      Observasi urine: warna, jumlah, bau.
6.      Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik
1)      Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi.
2)      Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal
3)      Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih.
4)      Mencegah sebelum terjadi shock.
5)      Mengidentifikasi adanya infeksi.
6)      Untuk  mencegah  infeksi  dan  membantu  proses penyembuhan.
5.
Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status kesehatan, kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi prosedur bedah.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24jam pasien tampak rileks.
Kriteria  hasil :
menyatakan  pengetahuan  yang  akurat  tentang situasi,  menunjukkan  rentang  tepat  tentang perasaan dan penurunan rasa takut
1.      Damping pasien dan bina hubungan saling percaya
2.      Berikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan
3.      Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan masalah/perasaan
4.      Beri informasi pada pasien sebelum dilakukan tindakan
1)      Menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu.
2)      Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.
3)      Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan masalah
4)      Memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan menguatkan kepercayaan pada pemberi perawatan dan pemberian informasi.
6.
Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan :
Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya.
Kriteria Hasil :
Melakukaperubahan    pola hidudan berpartisipasi dalam program pengobatan
1.      Dorong pasien menyatakan rasa takut perasaan dan perhatian.
2.      Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien
3.      Berikan informasi tentang penyakit yang diderita pasien
4.      Berikan penjelasan tentang tindakan/pengobatan yang akan dilakukan
1)      Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
2)      Memberi dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan terapi
3)      Meningkatkan pengetahuan pasien terhadap penyakit yang dideritanya
4)      Meningkatkan pengetahuan pasien terhadap tindakan untuk menyembuhkan penyakitnya.
7.
Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten akibat dari pembedahan.
Tujuan :
Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat diatasi
Kriteria hasil    :
Menyatakan  pemahaman  situasional  individu, menunjukan pemecahan masalah dan menunjukkan rentang yang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
1.      Dampingi pasien dan bina hubungan saling percaya
2.      Berikan informasi yang tepat tentang harapan kembalinya fungsi seksual
3.      Diskusikan ejakulasi retrograde bila pendekatan transurethral/suprapubik digunakan
4.      Anjurkan pasien untuk latihan perineal dan interupsi/continue aliran urin
1)      Menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu
2)      Impotensi fisiologis terjadi bila syaraf perineal dipotong selama prosedur radikal.
3)      Cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan disekresikan melalui urine, hal ini tidak mempengaruhi fungsi seksual tetapi akan menurunkan kesuburan dan menyebabkan urine keruh
4)      Meningkatkan peningkatan control otot kontinensia urin dan fungsi seksual


ENDOMETRIOSIS
 4.1 Struktur Organ Reproduksi Wanita
Struktur reproduksi eksternal perempuan adalah klitoris dan dua pasang labia yang mengelilingi klitoris dan lubang vagina. Organ reproduksi internal terdiri dari sepasang gonad dan sebuah duktus dan ruangan untuk menghantarkan gamet dan menampumg embrio dan fetus. Sistem reproduksi perempuan tidak sepenuhnya tertutup, dan sel telur dilepaskan ke dalam rongga abdomen di dekat pembukaan saluran telur atau tuba Fallopii. Saluran telur manusia mempunyai pembukaan yang mirip corong dan berumbai-umbai yang disebut fimbriae. Silia yang terdapat pada epitelium bagian dalam yang melapisi duktus itu akan membantu menarik sel telur dengan cara menarik cairan dari rongga tubuh ke dalam duktus tersebut. Silia juga mengirimkan sel telur menuruni duktus sampai di uterus, yang juga dikenal sebagai rahim. Uterus adalah organ yang tebal dan berotot yang dapat mengembang selama kehamilan untuk menampung fetus dengan bobot hingga 4 kg. Lapisan dalam uterus, yakni endometrium, dialiri oleh banyak pembuluh darah (Campbell, 2004).

Gambar 1. Struktur organ reproduksi wanita

4.2 Pengertian Endometriosis
Endometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan mirip dengan dinding rahim (endometrium) ditemukan di tempat lain dalam tubuh (Smeltzer, 2001). Endometriosis juga dapat berupa suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri dan diluar miometrium (Prawirohardjo, 2008).
Definisi lain tentang endometriosis yaitu terdapatnya kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium pada tempat-tempat diluar rongga rahim. Implantasi endometriosis bisa terdapat pada ovarium, ligamen latum, Cavum Douglasi, tuba Falopii, vagina, serviks, pada pusat, paru-paru, dan kelenjar-kelenjar limfa (Rayburn, 2001).


4.3 Teori Penyebab Endometriosis
            Ada teori penyebab endometriosis yang dinyatakan oleh para ahli sebagai berikut (Wood, 2008a):
1.    Metaplasia
       Metaplasia yaitu perubahan dari satu tipe jaringan normal menjadi tipe jaringan normal lainnya. Beberapa jaringan endometrium memiliki kemampuan dalam beberapa kasus untuk menggantikan jenis jaringan lain di luar rahim. Beberapa peneliti percaya hal ini terjadi pada embrio, ketika pembentukan rahim pertama. Lainnya percaya bahwa beberapa sel dewasa mempertahankan kemampuan mereka dalam tahap embrionik untuk berubah menjadi jaringan reproduksi.
2.    Menstruasi Mundur dan Transplantasi
Sampson (1920) mengatakan bahwa aliran menstruasi mundur mengalir melalui saluran tuba (disebut "aliran mundur") dan tersimpan pada organ panggul dan tumbuh menjadi kista. Namun, ada sedikit bukti bahwa sel-sel endometrium dapat benar-benar melekat dan tumbuh ke organ panggul perempuan. Bertahun-tahun kemudian, para peneliti menemukan bahwa 90% wanita memiliki aliran mundur.
3.    Predisposisi genetik
Penelitian telah menunjukkan bahwa wanita dengan riwayat keluarga menderita endometriosis lebih mungkin untuk terkena penyakit ini. Dan ketika diturunkan maka penyakit ini cenderung menjadi lebih buruk pada generasi berikutnya. Studi di seluruh dunia yang sedang berlangsung yaitu studi Endogene International mengadakan penelitian berdasarkan sampel darah dari wanita dengan endometriosis dengan harapan mengisolasi sebuah gen endometriosis.

Gambar 2. Predisposisi endometriosis

4.    Pengaruh lingkungan
            Beberapa studi telah menunjuk bahwa faktor lingkungan dapat menjadi kontributor terhadap perkembangan endometriosis, khususnya senyawa-senyawa yang bersifat racun memiliki efek pada hormon-hormon reproduksi dan respon sistem kekebalan tubuh, walaupun teori ini tidak terbukti dan masih kontroversial.
Hipotesis berbeda tersebut telah diajukan sebagai penyebab endometriosis. Sayangnya, tak satu pun dari teori-teori ini sepenuhnya terbukti, juga tidak sepenuhnya menjelaskan semua mekanisme yang berhubungan dengan perkembangan penyakit. Dengan demikian, penyebab endometriosis masih belum diketahui. Sebagian besar peneliti, berpendapat bahwa endometriosis ini diperparah oleh estrogen. Selanjutnya, sebagian besar pengobatan untuk endometriosis saat ini hanya berupaya untuk mengurangi produksi estrogen dalam tubuh wanita untuk meringankan gejala (Smeltzer, 2001).

4.4 Faktor Risiko
Wanita yang beresiko terkena penyakit endometriosis, yaitu (Wood, 2008b):
  • Wanita yang ibu atau saudara perempuannya pernah menderita endometriosis
  • Memiliki siklus menstruasi kurang atau lebih dari 27 hari
  • Menarke (menstruasi yang pertama) terjadi pada usia relatif muda (< 11 thn)
  • Masa menstruasi berlangsung selama 7 hari atau lebih
  • Orgasme saat menstruasi

4.5 Gejala endometriosis
Rasa sakit sering berkorelasi dengan siklus menstruasi, namun seorang wanita dengan endometriosis juga dapat mengalami rasa sakit pada waktu lain selama siklus bulanan. Bagi banyak wanita, tapi tidak semua, rasa sakit endometriosis dapat menjadi begitu parah dan berdampak signifikan dengan hidupnya. Nyeri yang dirasakan saat endometriosis terjadi sebelum, selama, dan setelah menstruasi, selama ovulasi, dalam usus selama menstruasi, ketika buang air kecil, selama atau setelah hubungan seksual, dan didaerah punggung bawah serta gejala lain mungkin dapat terjadi adalah diare atau sembelit (khususnya dalam kaitannya dengan menstruasi), perut kembung (sehubungan dengan menstruasi), perdarahan berat atau tidak teratur, dan kelelahan (Wood, 2008c).
Namun perlu ditekankan disini bahwa rasa sakit pada saat menstruasi atau dysmenorrhea tidak selalu berhubungan dengan gejala endometriosis. Kadar hormone prostaglandin yang tinggi akan cenderung menyebabkan terjadinya dysmenorrhea (Wood, 2008c).

4.6 Patologi
Organ yang biasa terkena endometriosis adalah ovarium, organ tuba dan salah satu atau kedua ligamentum sakrouterinum, Cavum Douglasi, dan permukaan uterus bagian belakang dapat ditemukan satu atau beberapa bintik sampai benjolan kecil yang berwarna kebiru-biruan (Prawirohardjo, 2008).

Gambar 3. Patologi endometriosis

  

4.7 METODE PENELITIAN
Penelusuran pustaka diperoleh dari media cetak berupa buku, jurnal, dan skripsi,  data pustaka dari media elektronik diperoleh dari hasil penelusuran pada berbagai situs, serta pengumpulan data dari ahli kebidanan dan penyakit kandungan dengan melakukan diskusi dengan menyusun kusioner diskusi guna memperoleh informasi yang relevan dengan masalah yang dikaji. Pengolahan data dari berbagai sumber yang diperoleh disajikan dalam bentuk deskripsi, gambar, dan tabel dengan menggunakan analisis deskriptif terhadap data-data yang telah dikumpulkan.

4.8 Hasil
Studi deskriptif kompilatif yang telah dilakukan dan dari diskusi dengan ahli kebidanan dan penyakit kandungan memperoleh hasil sebagai berikut:

4.9 Penyebab endometriosis
Ada beberapa teori yang diutarakan oleh beberapa ahli mengenai penyebab endometriosis yaitu (Eisenberg, 2009):
-          Endometriosis mungkin disebabkan oleh faktor keturunan, atau beberapa anggota keluarga mempunyai sifat yang membuat mereka terlihat seperti endometriosis.
-          Tumbuhnya jaringan endometrium dibagian tubuh yang lain selain uterus melalui sistem peredaran darah atau sistem limfa.
-          Endometriosis dapat disebabkan adanya ganguan pada sistem imunitas, endometriosis juga dapat menjadi kanker ovarium.
-          Hormon estrogen dapat menjadi pemicu pertumbuhan endometriosis. Beberapa penelitian memandang hal ini sebagai penyakit sistem endokrin, sistem kelenjar, hormon, dan sekresi lain dari tubuh.
-          Jaringan endometrium juga dapat ditemukan pada bekas luka abdominal dan mungkin ditemukan di tempat tersebut akibat kesalahan sewaktu pembedahan.
-          Sejumlah kecil jaringan saat pembentukan embrio yang kemudian berubah menjadi endometriosis.
-          Penelitian terbaru menunjukan adanya hubungan antara paparan dioksin dan endometriosis. Dioksin adalah senyawa yang bersifat toksik yang berasal dari pembuatan pestisida dan pembakaran sampah plastik.
Jaringan endometriosis dapat berada di abdomen melewati tuba Falopii saat menstruasi. Transplantasi jaringan ini tumbuh diluar uterus.
Menurut Sumilat (2009, kom. pribadi), penyebab dari penyakit ini belum diketahui secara pasti, para ahli mengatakan bahwa ”banyak faktor yang menyebabkan penyakit endometriosis, dapat berasal dari aliran menstruasi mundur dan implantasi, metaplasia, predisposisi genetik, dan pengaruh lingkungan”. Orgasme saat menstruasi dapat menimbulkan aliran menstruasi mundur dan endometriosis dapat menurun ke wanita yang ibu atau saudara perempuan menderita endometriosis karena terjadi penurunan imunitas pada penderita endometriosis, hal ini sesuai teori predisposisi genetik yang dikemukakan oleh Dmoski tahun 1995.
Sumilat (2009, kom. pribadi) juga berpendapat bahwa gangguan sistem imun juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit ini, menurut penelitian J.A. Hill tahun 1988 mendapatkan adanya kegagalan dalam sistem peluruhan darah haid oleh makrofag dan fungsi sel NK yang menurun pada endometriosis (Simatupang, 2003). Sumilat (2009, kom. pribadi) berpendapat bahwa penurunan sistem imun ini yang kemudian diturunkan ke generasi berikutnya. Sehingga keturunan selanjutnya memiliki resiko terkena endometriosis lebih besar.

4.10 Senyawa kimia yang dapat menimbulkan endometriosis
Menurut Sumilat (2009, kom. pribadi), penyebab penyakit ini berasal dari pengaruh lingkungan, hal ini dikarenakan adanya perubahan gaya hidup maupun terpengaruh dari paparan polutan. Ruhendra (1997) dan Tangri (2003) menyebutkan bahwa ada beberapa senyawa kimia yang dapat menyebabkan endometriosis, namun sampai saat ini masih diadakan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh senyawa tersebut terhadap tubuh khususnya terhadap kista endometriosis. Jenis-jenis senyawa tersebut dapat dilihat pada Tabel 1:
 Tabel 1. Senyawa  yang dapat menyebabkan endometriosis
Senyawa terkandung
Sumber zat
Dioksin
Insinerator, pembakaran bahan plastik, dan pembuatan produk kertas
Klorin
Proses pemutih kertas
Kolesterol
Makanan cepat saji dan daging ham
Kafein
Teh, kopi, dan cokelat

Dioksin adalah produk sampingan hasil berbagai proses kimia, misalnya dari proses insinerator sampah (terutama plastik), pengilangan logam, pembakaran bensin yang mengandung timbal dalam otomobil, pembuatan produk-produk kertas, pembuatan herbisida, dan pembakaran sampah organik yang mengandung klorin (Ruhendra, 1999).
Dioksin yang terbentuk selama pembakaran sampah, masuk ke udara bersama abu, kemudian mengendap pada tanaman pangan, kemudian dikonsumsi oleh ternak dan terakumulasi pada sel lemak dan muncul pada daging dan susu yang akhirnya dikonsumsi manusia (Tangri, 2003).
Dioksin dapat menyebabkan gangguan kesehatan secara luas, termasuk gangguan kulit, sistem reproduksi, hormonal, sistem kekebalan, diabetes, kanker, dan pertumbuhan (Ruhendra, 1999).
Sumber klorin dapat berasal dari proses industri yang menggunakan klorin sebagai pemutihan kertas dari hasil daur ulang kertas. Dampak klorin terhadap tubuh manusia sama dengan dioksin karena klorin merupakan hasil samping dari pembentukan dioksin (Ruhendra, 1999).
Penelitian Rier et al (1993), menyebutkan faktor lingkungan juga memberikan pengaruh pada perkembangan endometriosis, khususnya berhubungan dengan zat toksik yang mempunyai efek pada hormon reproduksi dan respon pada sistem imun. Pada percobaan ini 79% dari kera-kera yang terpapar dioksin menyebabkan endometriosis pada tubuhnya (Simatupang, 2003).
Dioksin diduga sebagai penyebab endometriosis. Dugaan ini dirumuskan pada tahun 1994 berdasar hasil observasi langsung terhadap kasus peningkatan penyakit endometriosis pada primata yang dipapar dengan dioksin. Total radiasi pada tubuh berhubungan dengan meningkatnya prevalensi endometriosis pada primata. Pada manusia, bukti-bukti penelitian mengenai pengaruh dioksin masih kurang. Peristiwa polusi yang terjadi di Seveso,  Italia,  ditemukan prevalensi endometriosis tidak meningkat. Juga pada bayi yang masih menyusui yang kemungkinan terpapar dioksin lewat air susu ibu, prevalensi endometriosis saat berumur dewasa rendah  (Redwine, 2004).
Daging ham dan makanan cepat saji mengandung kolesterol. Mengkonsumsi daging ham dan makanan cepat saji dapat berdampak pada jaringan endometrium di uterus dan di luar uterus dan dapat menimbulkan nyeri saat menstruasi. Hal ini dikarenakan sel stroma pada uterus menghasilkan estradiol yang diperoleh dari kolesterol yang selanjutnya menghasilkan estrogen yang berpengaruh terhadap jaringan endometrium  (Bulun, 2009).
Menurut David (1993) dan Bulun (2009), kafein dan kolesterol tidak dapat dijadikan sebagai penyebab endometriosis karena kafein dan kolesterol mempengaruhi peningkatan kadar estrogen, hal ini hanya memperparah kista endometriosis karena jaringan endometrium yang ada di uterus maupun yang di luar uterus mengalami penebalan sehingga menekan ke tempat perlekatannya. Saat kadar estrogen menurun sel-sel ini tidak dapat keluar sehingga menyebabkan nyeri dan perlekatan di tempat yang sama sehingga menimbulkan lesi atau kista keriput dan berwarna cokelat atau biru kehitaman yang menandakan pendarahan yang tidak dapat keluar. Pembentukan ini disebut pseudokist (Smeltzer, 2001).

4.11 Gejala endometriosis
Menurut American Fertility Society (2007a), gejala endometriosis dapat berupa :
-            Nyeri haid
Banyak wanita mengalami nyeri pada saat haid normal. Bila nyeri dirasakan berat maka disebut dysmenorrhea dan mungkin menjadi penyebab endometriosis atau tipe lain dalam patologi pelvik seperti uteri fibroid atau adenomiosis. Nyeri berat juga dapat menyebabkan mual-mual, muntah, dan diare. Dysmenorrhea primer terjadi pada saat awal terjadinya menstruasi, kemudian cenderung meningkat selama masa reproduktif atau setelah masa reproduktif. Dysmenorrhea sekunder terjadi setelah kehidupan selanjutnya dan mungkin akan terus meningkat dengan umur. Ini mungkin menjadi sebuah tanda peringatan dari endometriosis, walaupun beberapa wanita dengan endometriosis  tidak merasa nyeri.
-               Nyeri saat berhubungan
Endometriosis dapat menyebabkan rasa nyeri selama dan setelah berhubungan, kondisi ini diketahui sebagai dyspareunia. Penetrasi dalam dapat menghasilkan rasa nyeri di batasan ovarium dengan jaringan otot di bagian atas vagina. Rasa nyeri juga disebabkan adanya nodul lunak endometriosis di belakang uterus atau pada ligamen latum, yang berhubungan dengan serviks.

4.12 Gambaran kista endometriosis
Penampakan kasar endometriosis dapat berupa suatu penebalan atau kista yang berisi darah baru, merah atau biru hitam. Semakin lama lesi-lesi tersebut berubah menjadi rata dan berwarna coklat tua. Struktur kista besar bisa tetap berisi darah tua dan disebut kista cokelat. Lesi-lesi yang sudah lama bisa tampak pucat, tersebar, dan mengerutkan jaringan setempat. Ukuran lesi bervariasi dari kecil kurang dari 1 mm sampai dengan kista besar berukuran lebih dari 10 cm (Rayburn, 2001). (Gambar 7 dan Gambar 8.)
 Gambar 4.  Kista cokelat pada ovarium
Gambar 5. Lesi merah pada berbagai organ  
  
4.13 Klasifikasi endometriosis
Berdasarkan visualisasi rongga pelvis dan volume tiga dimensi dari endometriosis dilakukan penilaian terhadap ukuran, lokasi dan kedalaman invasi, keterlibatan ovarium dan densitas dari perlekatan. Dengan perhitungan ini didapatkan nilai-nilai dari skoring yang kemudian jumlahnya berkaitan dengan derajat klasifikasi endometriosis. Nilai 1-4 adalah minimal (stadium I), 5-15 adalah ringan (stadium II), 16-40 adalah sedang (stadium III) dan lebih dari 40 adalah berat (stadium IV) (Rusdi, 2009).
Tabel 2.  Derajat endometriosis berdasarkan skoring dari Revisi  AFS

Endometriosis
<1cm
1-3 cm
>1cm
Peritoneum
Permukaan
1
2
4
Dalam
2
4
6
Ovarium
Kanan
Permukaan
1
2
4
Dalam
4
16
20
Kiri
Permukaan
1
2
4
Dalam
4
16
20

Perlekatan kavum douglas
Sebagian
Komplit

4
40
Ovarium
Perlekatan
<1/3
1/3-2/3
>2/3
Kanan
Tipis
1
2
4
Tebal
4
8
16
Kiri
Tipis
1
2
4
Tebal
4
8
16
Tuba
Kanan
Tipis
1
2
4
Tebal
4
8
16
Kiri
Tipis
1
2
4
Tebal
4
8
16




















Sumber: American Fertility Society, 2007a.
Skema klasifikasi berdasarkan beratnya penyakit endometriosis menurut American Fertility Society (2007a) dapat dilihat pada gambar dibawah.
Gambar 6.  Skema klasifikasi stage 1 sampai stage 3. (American Fertility Society, 2007a)
Gambar 7.  Skema klasifikasi stage 3 sampai stage 4. (American Fertility Society, 2007a)

4.14 Diagnosa
Visualisasi endometriosis diperlukan untuk memastikan diagnosis. Cara-cara yang biasa dilakukan untuk mendiagnosis adalah dengan melakukan pemeriksaan laparoskopi untuk melihat lesi (Rayburn, 2001). Diagnosa laparoskopi dilakukan setiap hari dari siklus menstruasi dengan pasien dibawah pengaruh anestesia (obat bius). Diagnostik endometriosis dibutuhkan untuk melihat keberadaan dari satu atau lebih lesi kebiru-biruan atau hitam. Stadium endometriosis menurut revisi klasifikasi dari American Fertility Society (R-AFS). Implantasi endometriosis pada peritoneum atau ovarium nilainya ditentukan dari diameter dan kedalaman, yang mana nilai perlekatan digunakan dalam lampiran catatan kepadatan dan derajat. Total R-AFS nilai (implan dan perlekatan) berurutan dari 1-5, 6-15, 16-40, dan 41-150 dapat disamakan dari minimal (stadium I), ringan (stadium II), sedang (stadium III), dan berat (stadium IV) endometriosis (Marcoux, 1997) (Tabel 2 dan Gambar 9).
Pendapat klinik saat ini bahwa prosedur pembedahan seperti laparoskopi dibutuhkan untuk menentukan diagnosa endometriosis. Laparoskopi dilakukan untuk melihat keberadaan endometriosis. Pemeriksaan riwayat dan pemeriksaan badan dapat menemukan nyeri pelvik kronik dan dysmenorrheal, pemunduran uterus, penebalan ligamen uterosakral tidak sama sekali terdiagnostik. Proses diagnostik lain (American Fertility Society, 2007b). 
 Gambar 8.  Gambar laparoskopi organ reproduksi internal wanita
Gambar 9.  Diagnosa laparoskopi

Dokter mungkin akan memutuskan untuk mengobati endometriosis selama laparoskopi. Dilakukan pembedahan kecil tambahan untuk memasukan alat bedah. Endometriosis mungkin jadi menggumpal, menguap, terbakar atau dipotong, dan jaringan otot atau kista ovarium mungkin dikeluarkan. Selama laparoskopi, dokter memutuskan membuka dan memasukan alat tersebut lewat tuba Falopii untuk melihat serviks di dalam uterus (American Fertility Society, 2007b).
Proses diagnosa lain dilakukan pada kasus yang lebih khusus, dokter mungkin akan menggunakan teknik pengambilan gambar yang khusus seperti ultrasound, Computerized Tomography (CT scan), atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk menambah informasi tentang pelvis. Prosedur ini dapat mengidentifikasi kista dan mengetahui karekteristik cairan dengan kista ovarium, kista endometrioma dan kista korpus luteum mungkin serupa kelihatannya. Uji ini digunakan bila menilai seorang wanita infertil atau nyeri pelvis kronis. (American Fertility Society, 2007b).

4.15 Dampak yang ditimbulkan
Fakta-fakta menunjukan adanya hubungan antara endometriosis dengan infertilitas. Endometriosis ditemukan 50% pada wanita infertil. Pasien infertil dengan endometriosis ringan tanpa perawatan dapat hamil dengan rata-rata 2% sampai 4,5% perbulan, dibandingkan pada normal fertilitas dari 15% sampai 20% perbulannya. Pasien infertil dengan endometriosis sedang dan berat memiliki rata-rata kehamilan tiap bulannya kurang dari 2%. Endometriosis berhubungan dengan infertilitas, tidak semua wanita yang memiliki endometriosis adalah infertil. Sebagai contoh banyak wanita menjalani sterilisasi tuba tercatat mengalami endometriosis. Penyebab dan efek endometriosis diperkirakan berhubungan antara berkurangnya fertilitas namun tidak terbukti. Ini diperkirakan bahwa endometriosis merubah secara tidak langsung keadaan rongga pinggang dengan menimbulkan perlekatan pada organ-organ rongga pelvik sehingga mengganggu fungsi dari organ tersebut. Teori mencakup inflamasi, perubahan sistem imun, perubahan hormon, ganguan fungsi tuba Falopii, fertilitas dan implantasi. Itu lebih mudah untuk dipahami bagaimana endometriosis sedang dan berat dapat mengurangi fertilitas, karena sebagian besar perlekatan di rongga pinggang menyebabkan tidak terjadinya ovulasi, menghalangi sperma masuk ke tuba Falopii, dan menghalangi kemampuan tuba Falopii menangkap ovum selama ovulasi (American Fertility Society, 2007a).
Tabel 3. Jenis ganguan sistem yang disebabkan oleh endometriosis
No
Sistem
Jenis Gangguan
1
Fungsi Koitus
Dyspareunia (menurunkan frekuensi sanggama)
2
Fungsi Sperma
Inaktivasi sperma
Fagositosis sperma dengan makrofag
3
Fungsi Tuba Falopii
Kerusakan fimbriae
Penurunan motilitas tuba akibat prostaglandin
4
Fungsi Ovarium
Anovulasi
Pelepasan gonadotropin yang terganggu










Sumber: Widjanarko, 2009.
Endometriosis dapat menyebabkan gangguan pada fungsi sistem organ reproduksi yaitu fungsi koitus, sperma, tuba Falopii, ovarium. Pada fungsi koitus menyebabkan rasa nyeri saat senggama (dyspareunia) sehingga mengurangi frekuensi senggama. Pada fungsi sperma, endometriosis akan menghambat sperma dengan antibodi tertentu. Hal ini didasari dari hasil penelitian dimana terhadap antibodi yang memiliki efek menghambat gerakan sperma sehingga berakibat terjadinya infertilitas (Rusdi, 2009). Pada penderita endometriosis dibandingkan wanita normal, makrofag teraktifasi oleh adanya kista, hal ini menyebabkan makrofag pada penderita infertil dengan endometriosis membunuh lebih banyak sperma. Jika makrofag ini memasuki sistem reproduksi melalui tuba, maka akan terbentuk antibodi terhadap sperma yang akhirnya mematikan sperma sehingga terjadi infertilitas (Abdullah, 2009).
Endometriosis pada tuba Falopii akan menyebabkan kerusakan pada fimbriae sehingga tidak dapat menangkap sel telur yang dilepaskan oleh ovarium. Endometriosis juga menyebabkan penurunan silia pada tuba Falopii sehingga sel telur tidak dapat turun ke uterus. Pada fungsi ovarium terjadi anovulasi sehingga folikel yang telah matang langsung membentuk korpus luteum tanpa melepaskan sel telur. Hal ini juga berpengaruh terhadap hormon gonadotropin dan mengakibatkan terganggunya siklua ovarium selanjutnya. Menurut Abdullah (2009) perlengketan tuba yang luas akan menghambat motilitas dan kemampuan fimbre untuk menangkap sel telur. Sedangkan berkurangnya motilitas tuba dan transportasi ovum mungkin disebabkan oleh sekresi prostaglandin oleh jaringan endometritik.
Endometriosis berhubungan dengan perubahan-perubahan fisiologis alat reproduksi yang dapat menghambat terjadinya kehamilan. Derajat keterlibatan organ-organ pelvik merupakan faktor utama dalam menentukan kemampuan reproduksi penderita. Di bawah ini beberapa fenomena yang mungkin mengurangi kemampuan reproduksi pada penderita endometriosis sesuai dengan letak jaringan endometriotik berimplantasi (Abdullah, 2009):
·      Endometriosis pada serviks: Kekakuan dan penyempitan serviks, akibat endometriosis akan mengurangi laju pergerakan sperma sehingga mengurangi fertilitas.
·      Endometriosis pada Cavum Douglas: Melibatkan ligamentum sakrouterina dan bagian posterior uterus akan menyebabkan dispareni, sehingga mengurangi frekuensi koitus.
·        Endometriosis pada ovarium: akan menyebabkan destruksi kortikal dan pada gilirannya menyebabkan oligo atau anovulasi, sehingga menghambat proses reproduksi.
·      Endometriosis tuba Falopii: Perlengketan tuba Falopii yang luas akan menghambat motilitas dan kemampuan fimbriae untuk menangkap sel telur.

4.16 Penanganan
Penanganan endometriosis di bagi menjadi 2 jenis terapi yaitu terapi medik dan terapi pembedahan.
a.    Terapi medik diindikasikan kepada pasien yang ingin mempertahankan kesuburannya atau yang gejala ringan (Rayburn, 2001). Jenis-jenis terapi medik seperti terlampir pada Tabel. 3 dibawah ini (Widjanarko, 2009):
Tabel 4. Jenis-jenis terapi medik endometriosis
Jenis
Kandungan
Fungsi
Mekanisme
Dosis
Efek samping
Progestin
Progesteron
Menciptakan kehamilan palsu
Menurunkan kadar FSH, LH, dan estrogen
Medroxyprogesteron acetate: 10 – 30 mg/hari;
Depo-Provera® 150 mg setiap 3 bulan
Depresi, peningkatan berat badan
Danazol
Androgen lemah
Menciptakan menopause palsu
Mencegah keluarnya FSH, LH, dan pertumbuhan endometrium
800 mg/hari selama 6 bulan
Jerawat,
berat badan meningkat,
perubahan suara
GnRH agonis
Analog GnRH
Menciptakan menopause palsu
Menekan sekresi hormon GnRH dan endometrium
Leuprolide 3.75 mg / bulan; Nafareline 200 mg 2 kali sehari; Goserelin 3.75 mg / bulan
Penurunan densitas tulang, rasa kering mulut, gangguan emosi

b.    Terapi pembedahan dapat dilaksanakan dengan laparoskopi untuk mengangkat kista-kista, melepaskan adhesi, dan melenyapkan implantasi dengan sinar laser atau elektrokauter. Tujuan pembedahan untuk mengembalikan kesuburan dan menghilangkan gejala (Rayburn, 2001).
Terapi bedah konservatif dilakukan pada kasus infertilitas, penyakit berat dengan perlekatan hebat, usia tua. Terapi bedah konservatif antara lain meliputi pelepasan perlekatan, merusak jaringan endometriotik, dan rekonstruksi anatomis sebaik mungkin (Widjanarko, 2009).
Penanganan endometriosis menurut Sumilat (2009, kom. pribadi) dapat dilakukan dengan terapi medik seperti pemberian analog general dan obat KB atau dengan terapi pembedahan menggunakan laparoskopi operatif yaitu pembakaran kista endometriosis dengan menggunakan laser.
Tabel 5. Keuntungan dan kerugian terapi medik dan terapi pembedahan
Jenis terapi
Keuntungan
Kerugian
Terapi medik
1.      Biaya lebih murah
2.      Terapi empiris (dapat di modifikasi dengan mudah)
3.      Efektif untuk menghilangkan rasa nyeri
1.      Sering ditemukan efek samping
2.      Tidak memperbaiki fertilitas
3.      Beberapa obat hanya dapat digunakan untuk waktu singkat
Terapi pembedahan
1.      Efektif untuk menghilangkan rasa nyeri
2.      Lebih efisien dibandingkan terapi medis
3.      Melalui biopsi dapat ditegakkan diagnosa pasti
1.      Biaya mahal
2.      Resiko medis “ penetapan kurang baik dan penaksiran kurang baik” sekitar 3%
3.      Efisiensi diragukan, efek menghilangkan rasa nyeri temporer
Sumber: Widjanarko, 2009


DAFTAR RUJUKAN

Abdullah, N. 2009. Endometriosis dan Infertilitas. Jurnal Medika Nusantara, vol.25 No.2:1-7. 2004.  (http://med.unhas.ac.id /index.php?option =com_ content&task=category&sectionid=12&id=101&Itemid=48/1index.php, diakses pada tanggal 30 Desember 2009). 7 hal.
American Fertility Society. 2007a. Booklet Endometriosis A Guide for Patients. American Society For Reproductive Medicine. Alabama. (http://www.asrm.org/Patients /Booklet/Endometriosis.pdf diakses pada tanggal 28 Januari 2010). 16 hal.
American Fertility Society. 2007b. Booklet Laparoscopy And Hysteroscopy A Guide for Patients. American Society For Reproductive Medicine. Alabama. (http://www.asrm.org/Patients/Booklet/Laparoscopy.pdf diakses pada tanggal 28 Januari 2010). 12 hal.
Bulun, S. E. 2009. Endometriosis. The New England Journal of Medicine. Vol.360 No.3: 268-279. (http://content.nejm.org/cgi/content/ full/360/3/268, diakses pada tanggal 30 Desember 2009). 11 hal.
Campbell, Neil A., J. B. Reece, L. G. Mitchell. 2004. BIOLOGI Edisi Kelima Jilid 3. Penerbit Erlangga. Jakarta.
David, L. O., and L. B. Schwartz. 1993. Endometriosis. The New England Journ. of Medicine. Vol.328 No.24: 1759-1769. (http://content.nejm.org/cgi/ content/full/328/24/1759, diakses pada tanggal 30 Desember 2009).  10 hal.
Eisenberg, E. 2009. Endometriosis Frequently Asked Questions. Office on Women's Health in the Department of Health and Human Services. USA. (http://www.womenshealth.gov, diakses pada tanggal 05 Januari  2010). 6 hal.        
Guyton, A. C. dan Jhon E. H. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC Medical Publisher. Jakarta. Hal 1065-1078.
Jacoeb, T.Z. 2007. Dicari Formula Pengobatan Endometriosis yang Tepat. (http://www.majalahfarmacia.com/rubrik/magdetail.asp?mid=42/one_news.asp.htm) diakses pada tanggal 10 januari 2010.
Marcoux, S., R. Maheux., S. Berube. 1997. Laparoscopic Surgery In Infertile Women With Minimal Or Mild Endometriosis. The New England Journal of Medicine. Vol.337 No.4 :217-222. (http://content.nejm.org /cgi/content/full/337/4/217, diakses pada tanggal 31 Desember 2009). 5 hal.
Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu Kandungan. P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Hal 316-326.
Price, S.A. dan Lorraine M.W. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. EGC Medical Publisher. Jakarta. Hal 1277-1289.
Purves et al. 2007. Life: The Science of Biology 4th Edition. Sinauer Associates. (http://www.emc.maricopa.edu/faculty/farabee/Biobk/Biobookreprod.html,  diakses pada tanggal 20 Desember 2007).
Rayburn, W. F., Christopher C. 2001. Obstetri dan Ginekologi. Widya Medika. Jakarta. Hal 278-282.
Redwine, D. 2009. Endometriosis Advances and Controversies. Marcel Dekker.Inc. New York. Hal 2-10.
Rier S. E., et al. 1993. Endometriosis in rhesus monkeys following chronic exposure to 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-dioxin. Toxicological Sciences. Volume 21, Number 4 : 433-441. (http://toxsci.oxfordjournals.org/cgi/ reprint /21/4/433)
Ruhendra. 1999. Dioksin. UIKA. Bogor. (http://furl.net/store?u=http:// Fjurnal- kopertis 4.tripod.com/ 2F6-01.html & amp;t pendahuluan, diakses pada tanggal 28 Januari 2010).
Rusdi, G. 2009. Tesis Sebaran Kadar Sel T Regulator  Cairan Peritoneum  Pasien Endometriosis. FK UI. Jakarta. (http://www.scribd.com/doc/ 22327442/sebaran kadar sel t regulator cairan peritoneum pasien endometriosis, diakses pada tanggal 07 Januari 2010). 51 hal.
Sampson JA. 2009. Peritoneal endometriosis due to menstrual dissemination of endometrial tissue into peritoneal cavity. Am J Obstet Gynecol 1927; No. 14: 69-422. (http://content.nejm.org/cgi/external_ref?access_num= 000202353400057&link_type=ISI)
Simatupang, J. 2003. Referat Iv Perubahan Imunologis  Pada Endometriosis Peritoneal. FK UNSRI. Palembang. (http://digilib.unsri.ac.id/download/ Perubahan%20imunologis%20pada%20endometriosis.pdf, diakses pada tanggal 08 Januari 2009). 29 hal.
Somigliana E., P. Vigano. and P. Vercellini. 2006. A literature review of clinical and epidemiological studies addressing the risk of cancer in endometriosis. University of Milano and Center for Research in Obstetrics & Gynaecology (CROG). Italy. (http://wes.endometriosis.org/ejournal.htm, diakses 30 Desember  2009).
Tangri, N. 2009. Laporan GAIA “Insinerator Sampah: Teknologi yang Sekarat”. Global Anti-Incinerator Alliance (GAIA). Philippines. (http://www.scribd.com/doc/6548683, diakses pada tangal 28 Januari 2010). 6 hal.
Widjarnako, B. 2009. Endometriosis. (http://obfkumj.blogspot.com/ Endometriosis.html, diakses pada tanggal 07 Januari 2010).
Widhi, N.K. 2007. Plastik, Fast Food & Rokok Biang Utama Endometriosis. (http://www.detiknews.com/kanal/10/berita/10.html, diakses pada tanggal 10 Januari 2010).
Wood, R. 2008a. Causes. (http://www.endometriosis.org/causes.html, diakses pada tanggal 2 oktober 2009).
Wood, R. 2008b. Endometriosis. (http://www.endometriosis.org /endometriosis. html, diakses pada tanggal 2 oktober 2009).
Wood, R. 2008c. Symptoms. (http://www.endometriosis.org/symptoms.html, diakses pada tanggal 1 oktober 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar